Seorang Muslim sudah semestinya memikirkan masa depan dengan
melakukan invesment -bukan dengan stock portofolio, 401K, rumah ataupun saving
account, tetapi dengan shodaqoh jariyah, menyebarkan ilmu yang bermanfaat, dan
membina anak yang shaleh.
Ketiga aktivitas ini ternyata tercakup dalam proses
pendidikan anak dan apalagi Alhamdulillah banyak diantara kita yang telah
dikaruniai anak, sehingga saya tergerak untuk merangkum karakteristik
kepribadian seorang ayah idaman.
Saya bukan lah ustadz solmed ,
atau ustadzah mama dedeh, tapi saya
membagikan sedikit mengenai ayah dalam islam ini.
1. Keteladanan
Suatu pagi, saya terperanjat ketika melihat cara putriku
memakai
sepatunya. Ia langsung memasukkan kakinya ke dalam sepatu
tanpa melepas talinya. Rupanya selama ini ia memperhatikan bagaimana cara saya
memakai sepatu. Karena malas membuka simpul tali sepatu, sering kali saya
langsung memakainya tanpa membuka dan mengikat simpul tali sepatu. Saya
berusaha melarangnya dengan memberikan penjelasan bhw cara memakai sepatu
seperti itu bisa mengakibatkan sepatu cepat rusak. Namun hasilnya nihil.
Ini merupakan satu contoh nyata bahwa anak, terutama pada usia dini, mudah sekali mencontoh orangtuanya. Tidak perduli apakah itu benar atau salah. Nasehat kita tidak ada manfaatnya, jika kita tetap melakukan apa yang kita larang.
Apakah kita sudah memberikan teladan yang terbaik kepada anak-anak kita? Apakah kita lebih sering nonton TV dibandingkan membaca Al-Quran atau buku lain yang bermanfaat? Apakah kita lebih sering makan sambil jalan dan berdiri dibandingkan sambil duduk dengan membaca Basmallah? Apakah kita sholat terlambat dengan tergesa-gesa dibandingkan sholat tepat waktu? Apakah bacaan surat kita itu-itu saja?
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. “ (Ash-shaff [61]: 2-3)
Allah SWT juga mengingatkan untuk tidak bertingkah laku
seperti Bani Israil dalam firmanNya, “Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri,
padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?”
(Al-Baqaroh [2]: 44)
2. Kasih Sayang dan Cinta
Kehangatan, kelembutan, dan kasih sayang yang tulus merupakan dasar
penting bagi pendidikan anak. Anak-anak usia dini tidak tahu
apa namanya, tapi dengan fitrahnya mereka bisa merasakannya. Lihatnya bagaimana
riangnya sorot mata dan gerakan tangan serta kaki seorang bayi ketika ibunya
akan mendekap dan menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Bayi kecilpun sudah
mampu menangkap raut wajah yang selalu memberikan kehangatan, kelembutan, dan
kasih sayang dengan tulus, apalagi mereka yang sudah lebih besar.
Rasulullah SAW pada banyak hadith digambarkan sebagai sosok ayah, paman, atau kakek yang menyayangi dan mengungkapkan kasih sayangnya yang tulus ikhlas kepada anak-anak. Sebuah kisah yang menarik yang diceritakan oleh al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id dari Abu Laila.
Dia berkata: “Aku sedang berada di dekat Rasulullah SAW.
Pada saat itu aku melihat al-Hasan dan al-Husein sedang digendong beliau. Salah
seorang diantara keduanya kencing di dada dan perut beliau. Air kencingnya
mengucur, lalu aku mendekati beliau. Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan kedua
anakku, jangan kau ganggu mereka sampai ia selesai melepaskan hajatnya.’
Kemudian Rasulullah SAW membawakan air.” Dalam riwayat lain dikatakan, ‘Jangan
membuatnya tergesa-gesa melepaskan hajatnya.'” Bagaimana dengan kita? Sudahkan
kita ungkapkan kecintaan kita yang tulus kepada anak-anak kita hari ini?
3. Adil
Siapa yang belum pernah dengar kata sibling rivalry dan favoritism? Jika belum dengar, maka ketahuilah! Siapa tahu kita termasuk orang yang telah melakukannya. Seringkali kita terjebak oleh perasaan kita sehingga kita tidak berlaku adil, misalnya karena anak kita yang satu lebih penurut dibandingkan anak yang lain atau karena kita lebih suka anak perempuan daripada anak laki-laki dll. Rasulullah SAW bersabda, “Berlaku adillah kamu di antara anak-anakmu dalam pemberian.” (HR Bukhari)
Masalah keadilan ini dikedepankan untuk mencegah timbulnya kedengkian diantara saudara. Para ahli peneliti pendidikan anak berkesimpulan bahwa faktor paling dominan yang menimbulkan rasa hasad/ dengki dalam diri anak adalah adanya pengutamaan saudara yang satu di antara saudara yang lainnya.
Anak sangat peka terhadap perubahan perilaku terhadap dirinya. Jika kita lepas kontrol, sesegera mungkin untuk memperbaiki, karena anak yang diperlakukan tidak adil bisa menempuh jalan permusuhan dengan saudaranya atau mengasingkan diri (menutup diri dan rendah diri).
4. Pergaulan dan Komunikasi
Seringkali kita berada dalam satu ruangan dengan anak-anak, tapi kita tidak bergaul dan berkomunikasi dengan mereka. Kita asyiik membaca koran, mereka asyik main video game, atau nonton TV.
Banyak hadits yang menggambarkan bagaimana kedekatan pergaulan Rasulullah SAW dengan anak-anak dan remaja. Beliau bercanda dan bermain dengan mereka.
Bagaimana dengan kita yang sudah sibuk kuliah sambil
bekerja. Mana ada waktu untuk bercengkrama dengan anak-anak? Sebenarnya ada
waktu, jika kita mengetahui strateginya.
Misalnya, sewaktu menemani anak bermain CD pendidikan di komputer, kita bisa menjelaskan cara mengerjakan/bermainnya, lalu memberi contoh sebentar, lantas bisa kita tinggalkan. Begitu pula dengan buku bacaan dan permainan lainnya.
Repotnya ada sebagian ayah yang tidak mau berkumpul dengan anak-anak, terutama yang menjelang dewasa karena takut kehilangan wibawa atau kharismanya. Ini pandangan yang keliru. Yang lebih tepat adalah kita jaga keseimbangan, artinya kita tidak boleh terlalu kaku dalam memegang kekuasaan dan kharisma, tetapi juga tidak boleh terlalu longgar.
5. Bijaksana Dalam Membimbing
Rasulullah SAW bersabda: “… Binasalah orang-orang yang berlebihan …” (HR Muslim). Jadi metode yang paling bijaksana dalam mendidik dan mengarahkan anak adalah yang konsisten dan pertengahan – seimbang, yakni tidak membebaskan anak sebebas-bebasnya dan tidak mengekangnya; jangan terlalu sering menyanjung, namun juga jangan terlalu sering mencelanya.
Bila ayah memerintahkan sesuatu kepada anaknya, hendaknya ayah
melakukannya dengan hikmah, penuh kasih sayang, dan tidak
lupa membumbuinya dengan canda seperlunya. Jelaskan hikmah dan manfaatnya,
sehingga anak termotivasi untuk melakukannya. Jangan lupa juga untuk
memperhatikan kondisi anak dalam melaksanakan perintah atau aturan tersebut.
Imam Ibnu al-Jauzi mengatakan bahwa melatih pribadi perlu kelembutan, tahapan dari kondisi yang satu ke kondisi yang lain, tidak menerapkan kekerasan, dan berpegang pada prinsip pencampuran antara rayuan dan ancaman.
6. Berdo’a
Para nabi selalu berdoa dan memohon pertolongan Allah untuk kebaikan keturunannya. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim [14]: 35)
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku
di hari
tua(ku)Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar
Maha Mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku
orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah
do’aku.” (Ibrahim [14]: 39-40)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar